Di Jawa Barat, masyarakat adat tak hanya berada di
Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar. Setiap masyarakat adat memiliki ciri
khas dan wilayah adatnya masing – masing. Sekalipun beberapa sudah mulai
menerima masuknya Teknologi, warga kampung adat ini umumya masih
memelihara dan melaksanakan wasiat leluhur secara teguh. Berikut,
beberapa kampung adat yang ada di Jawa Barat :
Kampung Naga
Kampung Naga berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Kampung ini telah lama dikenal sebagai salah satu kampung
adat di Jawa Barat. Menurut salah satu versi sejarahnya, Kampung Naga
bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Kemudian seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk
menyebarkan agama Islam ke arah barat dan sampai di daerah Neglasari. Di
tempat tersebut, Singaparana disebut Sembah Dalem Singaparana oleh
masyarakat setempat. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk untuk
bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia
harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Tokoh leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi
masyarakat setempat adalah Eyang Singaparana atau Sembah Dalem
Singaparana atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah barat
Kampung Naga. Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu
diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Eyang Singaparna tidak
meninggal dunia melainkan hilang tanpa meninggalkan jasad. Di tempat
yang dipercaya sebagai tempat hilangnya Eyang Singaparna itu masyarakat
Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau
petunjuk kepada keturunan masyarakat Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati
seperti Pangeran Kudratullah, yang dipandang sangat menguasai
pengetahuan Agama Islam, Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda
Sakti, yang mengusai ilmu kekebalan “kewedukan”, Ratu Ineng Kudratullah
atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, yang menguasai ilmu kekuatan
fisik “kabedasan”, Pangeran Mangkubawang, yang menguasai ilmu kepandaian
yang bersifat kedunawian atau kekayaan, dan Sunan Gunungjati Kalijaga,
yang menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.
Lokasi Kampung Naga sendiri tidak jauh dari jalan raya yang
menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di
lembah yang subur, dengan batas alam di sebelah barat berupa hutan yang
dianggap keramat karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.
Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah
utara dan timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal
dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Untuk menuju Kampung Naga dari arah
jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok
(Sunda sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar
45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan
setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga.
Kampung Cikondang
Kampung Cikondang secara administratif terletak di dalam wilayah Desa
Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kampung Cikondang
ini berbatasan dengan Desa Cikalong dan Desa Cipinang (Kecamatan
Cimaung) di sebelah utara, dengan Desa Pulosari di sebelah selatan,
dengan desa Tribakti Mulya di sebelah Timur, serta di sebelah barat
berbatasan dengan desa Sukamaju. Jarak dari Pusat Kota Bandung ke
Kampung Adat Cikondang ini sekitar 38 Kilometer, sedangkan dari pusat
Kecamatan Pangalengan sekitar 11 Kilometer. Dari Kota Bandung ke arah
Selatan melewati Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Cimaung. Jarak dari
ruas jalan Bandung-Pangalengan yang berada di wilayah Kampung Cibiana ke
Kampung Cikondang satu kilometer. Sedang dari jalan komplek perkantoran
PLTA Cikalong, melewatai bendungan dengan tangga betonnya, selanjutnya
melalui Kantor Desa Lamajang sekitar satu setengah kilometer.
Menurut kuncen Kampung Cikondang, konon mulanya di daerah ini ada seke
(mata air) yang ditumbuhi pohon besar yang dinamakan Kondang. Oleh
karena itu selanjutnya tempat ini dinamakan Cikondang atau kampung
Cikondang. Nama itu perpaduan antara sumber air dan pohon Kondang; “Ci”
berasal dari kependekan kata “cai” artinya air (sumber air), sedangkan
“kondang” adalah nama pohon tadi..
Masih menurut penuturan kuncen, untuk menyatakan kapan dan siapa yang
mendirikan kampung Cikondang sangat sulit untuk dipastikan. Namun,
masyarakat meyakini bahwa karuhun (Ieluhur) mereka adalah salah seorang
wali yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Mereka
memanggilnya dengan sebutan Uyut Pameget dan Uyut Istri yang diyakini
membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak cucunya.
Kapan Uyut Pameget dan Uyut Istri mulai membuka kawasan Cikondang
menjadi suatu pemukiman? Tidak ada bukti konkrit yang menerangkan
kejadian itu, baik yang tertulis maupun lisan. Menurut perkiraan seorang
tokoh masyarakat, Bumi Adat diperkirakan telah berusia 200 tahun. Jadi,
diperkirakan Uyut Pameget dan Uyut Istri mendirikan pemukiman di
kampung Cikondang kurang Iebih pada awal abad ke-XIX atau sekitar tahun
1800.
![](https://ririnkyurin.files.wordpress.com/2013/06/01122012044.jpg)
Kampung Mahmud
Kampung Mahmud berada di Desa Mekar rahayu, Kecamatan Margaasih,
Kabupaten Bandung. Kampung adat ini adalah kampung bersejarah yang
dihuni 200 kepala keluarga di area seluas 4 hektar, dengan mayoritas
penduduknya bekerja sebagai petani. Sang pendiri, Embah Eyang Abdul
Manaf, keturunan dari Syarif Hidayatuliah seorang wali yang berasal dari
Cirebon, mendirikan kampong ini di pinggiran Sungai Citarum setelah
kembali dari haji, di mana beliau mendapat firasat bahwa negerinya akan
dijajah oleh bangsa asing (Belanda). Nama Mahmud diberikan sesuai dengan
nama tempat Eyang Manaf berdoa ketika berada di Mekah, yakni Gubah
Mahmud. Pada jaman penjajahan, tempat ini dimanfaatkan untuk tempat
persembunyian yang aman oleh penduduk daerah sekitar. Sampai saat ini,
masyarakat Kampung Mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya,
dengan memelihara makamnya dengan baik, bahkan menempatkannya sebagai
makam keramat yang senantiasa diziarahi oleh mereka.
Kampung Urug
Kampung Urug berada di wilayah bogor, sekitar 48 KM dari pusat kota.
Kampung adat ini adalah sebuah kampung adat yang masyarakatnya percaya
sebagai keturunan Prabu Siliwangi, raja di Kerajaan Pajajaran, Jawa
Barat. Salah satu bukti yang dianggap mendukung hal itu adalah
konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, yang memiliki
ciri sambungan kayu yang sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada
salah satu bangunan di Cirebon yang juga merupakan sisa-sisa peninggalan
Kerajaan Pajajaran.
Kata Urug dijadikan nama kampung karena dianggap berasal dari kata
“Guru”, dengan mengubah cara membaca yang dilakukan dari kiri namun
sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata “Guru” berdasarkan etimologi
rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang
guru haruslah “digugu dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani
segala pengajaran dan petuahnya.
Kampung Pulo
Merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah
kawasan Situ Cangkuang, di Kecamatan leles, kabupaten Garut. Menurut
cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya menganut agama Hindu,
lalu Embah Dalem Arif Muhammad singgah di daerah ini karena terpaksa
mundur pada saat mengalami kekalahan sewaktu menyerang Belanda. Karena
malu kepada Sultan Agung maka Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau
kembali ke Mataram. Pada saat itu beliau mulai menyebarkan agama Islam
pada masyarakat Kampung Pulo. Sampai dengan beliau wafat dan
dimakamkandi Kampung Pulo, beliau meinggalkan 6 orang anak dan salah
satunya adalah pria. Oleh karena itu di Kampung Pulo didirikan 6 buah
rumah adat yang berjajar saling berhadapan masing-masing 3 buah rumah di
kiri dan di kanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah
tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, serta yang tinggal di
dalam rumah tersebut tidak boleh melebihi dari 6 kepala keluarga. Jika
seorang anak laki-laki sudah dewasa dan menikah maka paling lambat 2
minggu setelah itu harus segera meninggalkan rumah dan harus keluar dari
lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % dari warga Kampung
Pulo beragama Islam, mereka tetap melaksanakan sebagian dari upacara
ritual agama Hindu.
Kampung Kuta
Kampung yang konon sempat dicalonkan sebagai ibukota Kerajaan Galuh
ini dikelilingi oleh perbukitan (kuta = tembok), dari mana namanya
berasal. Yang unik di sini adalah pelapisan sosial yang didasarkan pada
status dan peran; golongan yang memimpin secara formal menduduki jabatan
tertentu dalam lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala
dusun, ketua RW, dan ketua RT, sedangkan pimpinan non-formal adalah
pimpinan berdasarkan penghormatan dan penghargaan masyarakat terhadap
seseorang karena alasan usia, pengalaman, pengetahuan, dan peran di
lingkungannya (dikenal dengan sebutan sesepuh dan kuncen).
Walau masyarakat Kampung Kuta terikat pada aturan-aturan adat, mereka
mengenal dan menggemari berbagai kesenian, baik tradisional maupun
modern seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang),
kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai dangdut. Anda dapat
menyaksikannya pada saat selamatan/hajatan, terutama hajatan perkawinan
dan penerimaan tamu kampung.
Kampung Dukuh
Kampung Dukuh berlokasi di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten
Garut. Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa
yang berjasa sebagai pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil.
Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti
tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi
miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek
moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen)
Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik =
duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim.
Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompok, terdiri
atas beberapa puluh rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang
bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur
dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga
jalan kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan
setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua daerah pemukiman yaitu Dukuh
Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = atas).
Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah lain yang bernama
Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah terdapat
Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi
oleh pagar tanaman.
Referensi:http://fauzan47.multiply.com/journal/item/11?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar